Urgensi Bulan Rabiul Awwal: Lahir, Hijrah, dan Wafatnya Rasulullah SAW

Rabiul Awal adalah bulan ketiga dalam kalender hijriah. Bulan ini dikenal sebagai bulan di mana bunga-bunga bermekaran dan hujan turun di padang pasir. Rabiul Awal memiliki makna istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia, karena merupakan bulan penting dalam kehidupan Rasulullah. Di bulan ini, Rasulullah lahir, melakukan hijrah, dan wafat.
Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah, yang bertepatan dengan tahun 571 M, di kota Mekkah Al-Mukarramah. Ibunya, Aminah binti Wahab dari kabilah Bani Zuhrah al-Quraisyiyah, melahirkan Nabi dalam keadaan yatim karena ayahnya, Abdullah, meninggal dunia tiga bulan setelah menikah dengan Aminah.
Nabi Muhammad adalah sosok yang telah dipersiapkan untuk membawa risalah Allah yang terakhir. Allah berfirman:
اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu (Muhammad). Dan dia mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberi petunjuk. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberi kecukupan.” (QS. Ad Dhuha: 6-8).
Setelah Aminah wafat, tanggung jawab merawat Nabi Muhammad diambil alih oleh Abdul Muthalib. Namun, dua tahun kemudian, Abdul Muthalib juga meninggal karena usia tua, dan tugas merawat Nabi Muhammad beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Bersama pamannya, Rasulullah belajar hidup mandiri dengan mengembala kambing dan berdagang ke wilayah Syam.
Bulan Rabiul Awal tidak hanya menandai kelahiran Nabi Muhammad, tetapi juga merupakan waktu di mana Rasulullah melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dalam Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam mencatat bahwa pada 12 Rabiul Awal malam Senin, Nabi bersama rombongannya tiba di Bani Amr ibn Auf, dan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi tinggal bersama mereka pada hari Senin di Bani Amr ibn Auf.
Buya Hamka menjelaskan bahwa hijrah Nabi ke Madinah bukanlah kebetulan. Rasulullah mendapatkan perintah langsung dari Allah untuk hijrah, sebelum memerintahkan para sahabatnya melakukan perjalanan secara sembunyi-sembunyi ke Madinah. Pilihan Madinah sebagai tujuan hijrah disebabkan oleh beberapa keutamaannya, seperti penduduknya yang ramah dan berpengalaman dalam perang, serta lokasinya yang strategis untuk melindungi dakwah Islam.
Menurut Haedar Nashir, hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Yastrib bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga merupakan langkah membangun peradaban baru, yaitu "Al-Madinah Al-Munawwarah," yang terlahir dari ajaran Islam. Peradaban ini mengubah kehidupan jahiliyah yang gelap menjadi kehidupan yang terang dan menyinari seluruh peradaban.
Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ Ayat 100 menjanjikan kepada orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya bahwa mereka akan mendapatkan rezeki yang melimpah dan pahala yang besar jika mereka meninggal dunia dalam perjalanan hijrah.
وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ
“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 100).
Pada bulan Rabiul Awwal, selain kelahiran dan perjalanan hijrah, Rasulullah Saw juga wafat. Dua bulan sebelum wafat, Nabi Saw berhaji atau Haji Wada bersama lebih dari 100 ribu kaum Muslimin. Di Jabal ‘Arafat, Nabi menyampaikan khutbah monumental di hadapan mereka yang dianggap sebagai dasar dari ajaran Islam. Tidak mengherankan, karena dalam khutbah ini nabi telah menjelaskan perihal undang-undang Islam.
Dalam potongan khutbah haji yang beliau sampaikan di tengah lautan manusia Nabi berpesan:
أَيُّهَا النَّاسُ، اسْمَعُوا قَوْلِي، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا بِهَذَا الْمَوْقِفِ أَبَدًا
“Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku! Aku belum tahu secara pasti, boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini dengan keadaan seperti ini.”
Belum selesai pidatonya, turun ayat Al Quran yang mengindikasikan bahwa Nabi yang Agung itu tidak akan lama lagi membersamai kaum Muslimin:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Maidah: 3).